Ojek Online, Kekuatan Baru dalam Gerakan Sosial

Ribuan Ojol saat mengantarkan jenazah Affan Kurniawan ke tempat peristirahatan terakhir

Oleh : Bobby Ciputra, Ketua Angkatan Muda Sosialis Indonesia (AMSI)

Sejak revolusi digital mengubah wajah lanskap pekerjaan dan mobilitas di Indonesia, sebuah pertanyaan menggelitik muncul: apakah para pengemudi ojek online (ojol), yang seringkali dianggap sebagai pekerja lepas individual, sesungguhnya merupakan sebuah kolektif yang berpotensi menjadi kekuatan gerakan sosial baru.

Bacaan Lainnya

Mengapa ojek online begitu cepat hadir dalam setiap demonstrasi? Dahulu, kita mengenal buruh, mahasiswa, atau petani sebagai aktor utama demonstrasi. Kini, di jalan-jalan kota besar, warna hijau dan kuning mencolok dari jaket para pengemudi ojek online (ojol) ikut mewarnai kerumunan massa. Menurut saya, fenomena ini bukan sekadar kebetulan. Ini adalah jiwa zaman.

Bobby Ciputra, Ketua Angkatan Muda Sosialis Indonesia (AMSI)

Dari jalanan ke jalanan kita sering melihat ojol sebagai individu yang ada di setiap sudut jalan, sibuk mengejar target harian di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Namun, di balik seragam jaket yang beragam, ada ribuan cerita, keluhan, dan harapan yang sama. Mereka adalah pekerja lepas yang terikat pada sebuah algoritma, bukan pada seorang atasan secara langsung. Kondisi ini kemudian menciptakan paradoks unik: mereka bekerja sendirian, tetapi merasa senasib sepenanggungan. Mereka bekerja secara independen, namun nasib mereka ditentukan oleh kebijakan perusahaan aplikasi. Inilah yang menjadi bibit awal dari sebuah kesadaran kolektif, sebuah solidaritas informal yang perlahan-lahan mengkristal.

Ojol lahir dari kebutuhan harian: mengantar penumpang, mengirim barang, mengejar waktu. Tetapi siapa sangka, jalanan yang menjadi tempat mereka mencari nafkah, kini juga menjadi ruang politik mereka. Di jalanan yang sama, mereka menjemput penumpang sekaligus menjemput sejarah.

Jika buruh punya pabrik dan mahasiswa punya kampus sebagai basis, maka ojol punya jalanan. Setiap persimpangan, setiap lampu merah, dan setiap pangkalan kecil adalah ruang sosial mereka. Jalanan bukan hanya ruang kerja, tetapi juga ruang pertemuan, ruang berbagi cerita, ruang menyusun solidaritas sekaligus ruang yang membentuk gerakan sosial baru.

Affan Kurniawan : Simbol Perjuangan dan Solidaritas

Gerakan sosial tidak selalu membutuhkan organisasi formal yang masif untuk dimulai. Seringkali, ia dipicu oleh sebuah peristiwa tunggal yang sangat emosional dan simbolik. Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan adalah salah satunya. Pada 28 Agustus 2025, dalam sebuah aksi demonstrasi menuntut keadilan, Affan seorang pengemudi ojol menjadi korban.

Ribuan Ojol saat mengantarkan jenazah Affan Kurniawan ke tempat peristirahatan terakhir

Kematian Affan mengguncang komunitas ojol. Namanya bukan hanya sekadar nama, melainkan personifikasi dari ketidakberdayaan dan perjuangan yang mereka rasakan setiap hari. Kisah tragisnya menyebar dengan cepat melalui grup-grup percakapan dan media sosial. Kemarahan kolektif yang selama ini terpendam akhirnya meledak. Ribuan ojol tumpah ruah ke jalanan, tidak hanya menuntut keadilan bagi Affan, tetapi juga menyuarakan tuntutan mereka sendiri yang selama ini diabaikan.

Menurut Sosiolog UGM Derajad Widhyharto, segala tindakan yang dilakukan para pejabat seperti menawarkan pemberian segala keuntungan kompensasi kepada keluarga Affan, sampai kapan pun tidak akan bisa menjawab alasan orang-orang untuk terus melanjutkan berunjuk rasa. Ini adalah ketimpangan ekonomi, arogansi politik, dan demokrasi yang menjadi semakin terasa hampa.

Menutup Jalan Membuka Kesadaran

Dalam studi gerakan sosial, istilah New Social Movements (NSM) atau Gerakan Sosial Baru muncul untuk menjelaskan fenomena pergerakan yang tidak lagi berlandaskan pada kelas ekonomi tradisional (buruh vs majikan), melainkan pada isu-isu baru seperti lingkungan, hak-hak sipil, dan gender. Gerakan ojol dapat ditempatkan dalam kerangka NSM ini, dengan beberapa modifikasi. Mereka memang berangkat dari isu ekonomi (tarif, upah), tetapi cara mereka mengorganisir diri, yang sangat bergantung pada teknologi digital, serta identitas yang mereka bangun sebagai pekerja digital, menjadikan mereka sebuah entitas yang unik.

Mereka tidak terikat pada serikat pekerja tradisional, yang seringkali dianggap kaku dan birokratis. Sebaliknya, mereka bergerak secara cair, fleksibel, dan sangat responsif terhadap isu-isu yang muncul. Ketika sebuah peristiwa terjadi, informasi menyebar dengan cepat, dan mobilisasi dapat dilakukan dalam hitungan jam. Gaya “gerilya digital” ini memungkinkan mereka untuk bertindak cepat.

Pertanyaannya sekarang, ke mana arah gerakan ini akan menuju ?

Apakah solidaritas yang telah terbentuk akan muncul dan tenggelam atau kemudian mengkristal menjadi sebuah organisasi solid ?

Ataukah Ojol akan menjadi sebuah kekuatan yang cepat dan fleksibel, yang selalu memperjuangan keadilan sosial ?

Satu hal yang pasti: ojek online tidak lagi bisa dianggap remeh di era kekinian. Ojek online adalah sebuah kekuatan baru jiwa zaman dalam pergerakan sosial di Indonesia, sebuah gelombang baru yang lahir dari rahim teknologi, dan simbol baru dari perjuangan untuk keadilan di era digital. Ketika ribuan ojol bergerak turun ke jalan, mereka bukan hanya menutup jalan raya, tetapi juga membuka jalan kesadaran. (*)

Pos terkait